Samarinda, KATAMEDIA – Persoalan status wilayah Kampung Sidrap kembali mencuat ke permukaan seiring dengan pernyataan sejumlah pejabat daerah yang menyulut perdebatan. Namun, bagi DPRD Kalimantan Timur, polemik ini sesungguhnya bukan hal baru. Akar persoalan telah berlangsung sejak pemekaran wilayah.
Agusriansyah Ridwan, anggota DPRD Kaltim, menyebut bahwa polemik Sidrap telah berakar sejak kawasan itu masuk ke dalam wilayah Kutai Timur setelah pemekaran.
“Jadi polemik di Kampung Sidrap itu bukan baru sekarang, itu sudah terjadi sejak pemekaran dan ditunjuk menjadi wilayah Kutai Timur sudah menjadi persoalan,” katanya.
Permasalahan utama muncul akibat tumpang tindih identitas administratif masyarakat.
“Hal tersebut karena dulu area itu termasuk area pertanian dari masyarakat Bontang dan Kutim untuk melakukan pertanian. tetapi secara administrasi ada yang KTP Bontang, ada yang KTP putih. Nah di dalam perjalanannya, ini terus berlanjut,” tambah Agusriansyah.
Fenomena ‘identitas ganda’ ini menjadi bahan kajian dalam ilmu administrasi publik sebagai bentuk kegagalan pemetaan wilayah yang memadai pasca-pemekaran. Ketidakjelasan ini berujung pada friksi sosial dan pelayanan publik yang tumpang tindih.
Masalah semacam ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah pusat, mengingat aspek yuridiksi wilayah menyangkut pelaksanaan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kependudukan.
Kondisi ini menjadi contoh nyata bahwa pemekaran wilayah tanpa pembenahan administratif dapat menciptakan permasalahan berkelanjutan. Identitas warga menjadi ambigu, dan tanggung jawab pelayanan tidak jelas.
Pemerintah daerah diharapkan tidak memperkeruh suasana dengan narasi yang menyentuh aspek personal atau menyerang lembaga lain. Konflik kewilayahan harus diselesaikan berdasarkan regulasi formal.
“Sebenarnya persoalan Wakil Wali Kota Bontang terhadap statementnya itu harusnya diarahkan kepada Mendagri yang mengeluarkan surat penetapan terhadap pembagian wilayah, termasuk keputusan Kemendagri terhadap penentuan batas wilayah,” pungkasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa langkah hukum dan administratif adalah jalan utama penyelesaian konflik batas wilayah, bukan pernyataan publik yang berpotensi memicu polemik politik. (Adv)