Samarinda, KATAMEDIA – Ancaman terhadap Jembatan Mahakam kembali menjadi perhatian serius Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Timur setelah nyaris terjadi lagi insiden tabrakan oleh kapal tongkang. Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh dan tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan pelayaran yang lalai dan membahayakan infrastruktur vital tersebut.
“Saat itu kami pernah memanggil pimpinan perusahaan dan meminta agar kepala SOP (Standar Operasional Prosedur) diganti. Alhamdulillah, permintaan itu ditindaklanjuti dengan tegas. Namun hingga kini, pertanggungjawaban senilai Rp35 miliar yang pernah disanggupi oleh perusahaan tersebut belum jelas kelanjutannya,” ungkap Jahidin.
Ia juga menyoroti pentingnya legalitas dalam proses komitmen pertanggungjawaban. Menurutnya, kesanggupan perusahaan tidak cukup hanya disampaikan secara lisan atau tertulis informal.
“Saya sendiri dalam rapat pernah menginterupsi agar perusahaan yang bersangkutan, jika benar-benar menyanggupi ganti rugi, harus membuat pernyataan hitam di atas putih di hadapan notaris. Jangan hanya surat di bawah tangan yang disalin dalam berita acara,” tegasnya.
Jahidin menjelaskan bahwa dengan akta notaris, ada kekuatan hukum yang bisa digunakan apabila perusahaan lalai menjalankan kewajibannya.
“Jika kesanggupan itu dituangkan dalam akta notaris, maka itu memberikan jaminan. Jika mereka tidak menunaikan kewajibannya, maka secara hukum kekayaannya dapat disita untuk menutupi pertanggungjawaban,” jelasnya.
Pengalaman panjang Jahidin sebagai anggota legislatif juga menjadi dasar kekhawatirannya. Ia mencatat bahwa insiden serupa sudah terjadi sebanyak 23 kali, namun tidak semua pelaku memberikan pertanggungjawaban yang semestinya.
“Sejak saya di Komisi I dulu, ini sudah yang ke-23 kalinya Jembatan Mahakam hampir atau benar-benar tertabrak. Ada beberapa perusahaan yang tidak sepenuhnya menunaikan kewajibannya dalam perbaikan,” ujarnya prihatin.
Jahidin menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin kejadian seperti itu terus berulang. Karena itu, langkah hukum yang tegas dan mengikat harus menjadi bagian dari evaluasi kebijakan.
“Kita tidak ingin peristiwa seperti ini terjadi lagi. Jika ada pernyataan resmi di depan notaris, dan tidak dipenuhi, maka menurut hukum bisa disita asetnya. Ini penting sebagai bentuk keseriusan dan perlindungan terhadap infrastruktur kita,” tutupnya. (Adv)