KATAMEDIA, SAMARINDA – Sengketa kepemilikan tanah di Jalan Damanhuri II RT 29 Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda, antara Hairil Usman dan Keuskupan Agung Samarinda terus bergulir. Persoalan ini kini mendapatkan perhatian serius dari DPRD Kalimantan Timur, khususnya Komisi I yang membidangi hukum dan pemerintahan.
Melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Ruang Rapat Gedung E, Lantai 1, Kantor DPRD Kaltim, Selasa (10/6/2025), Komisi I mencoba memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan melibatkan semua pihak terkait. Rapat dipimpin Wakil Ketua Komisi I Agus Suwandy, didampingi anggota komisi seperti Yusuf Mustafa, Safuad, Didik Agung Eko Wahono, dan Budianto Bulang, serta Tenaga Ahli DPRD Kaltim.
Pihak pelapor, Hairil Usman, hadir bersama kuasa hukumnya, disertai Camat Sungai Pinang, Plt Camat Samarinda Utara, Lurah Mugirejo, Ketua RT 29, dan perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda. Namun, Keuskupan Agung Samarinda selaku pihak terlapor tidak menghadiri rapat tersebut, yang menjadi catatan penting dalam proses klarifikasi selanjutnya.
Agus Suwandy menegaskan bahwa penyelesaian perkara ini harus melalui jalur musyawarah dan mediasi untuk mencegah eskalasi sosial.
“Jangan sampai ini menjadi bola liar, mengingat ada aktivitas keagamaan di atas tanah yang disengketakan. Kita harus menyelesaikan secara bijaksana,” katanya.
Prinsip musyawarah ini sejalan dengan asas deliberatif dalam sistem demokrasi, yang mengedepankan dialog untuk mencapai solusi. Berdasarkan kronologi yang dipaparkan dalam RDP, tanah tersebut awalnya dijual oleh Djagung Hanafiah, ayah Hairil Usman, kepada Dony Saridin pada 1988 dengan ukuran 20×30 meter.
Namun, luas lahan tiba-tiba berubah menjadi 75×73 meter setelah istri Dony, Margareta, membuat SPPT dan menghibahkannya kepada Keuskupan. Hal ini menimbulkan tanda tanya atas legalitas dan keabsahan perubahan luas lahan serta proses hibah tersebut.
Hairil Usman menegaskan bahwa pembelian tanah belum dilunasi, sehingga klaim hibah menjadi tidak sah menurutnya. Agus Suwandy pun menyampaikan rencana pemanggilan ulang Keuskupan untuk memastikan keaslian dokumen.
“Makanya nanti kita panggil pihak Keuskupan untuk dimintai keterangan dan memastikan dokumen yang dimiliki pihak Keuskupan, agar BPN bisa menentukan apakah objek yang disengketakan sesuai dengan dokumen yang ada. Jangan sampai suratnya ada di satu tempat, tapi objeknya di tempat lain,” jelasnya.
Agus juga memberikan peringatan tegas agar persoalan ini tidak dibelokkan menjadi isu SARA.
“Isu SARA sangat rawan dan berisiko. Kita harus fokus pada penyelesaian hukum dan menghindari perpecahan,” ujarnya. Dalam studi konflik sosial, penyalahgunaan isu SARA berpotensi memperkeruh suasana dan menghambat upaya penyelesaian hukum yang seharusnya objektif dan rasional.
Komisi I DPRD Kaltim akan menggelar RDP lanjutan pada Selasa, 17 Juni 2025, serta meminta pihak kecamatan untuk menelusuri kembali riwayat dokumen tanah tersebut. DPRD Kaltim berharap, pendekatan persuasif, berbasis hukum dan data, dapat menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan damai, demi menjaga stabilitas sosial di wilayah Samarinda. (Adv)